Perlu diingat, betapa jarangnya gestur ini.
Terakhir kali seorang presiden Indonesia menghadiri parade nasional Tiongkok adalah tahun 1956, ketika Sukarno berdiri bersama Mao Zedong dalam perayaan Hari Nasional.
Kehadiran Prabowo kini dimaksudkan sebagai tanda kebangkitan hubungan bersejarah.
Namun, simbolisme ini lebih terasa sebagai panggung teater dibanding diplomasi.
Tiongkok mendapat tambahan gengsi; Prabowo mendapat pemolesan ego.
Secara resmi, Jakarta menyebut kunjungan itu sebagai upaya mengamankan investasi energi, mineral, kerja sama digital, dan modernisasi militer.
Tetapi semua itu bisa saja dibahas dalam forum SCO yang justru ia lewatkan.
Kehadirannya dalam parade yang terancang rapi — bukan di meja perundingan — menunjukkan bahwa substansi bukanlah prioritas utama.
Waktu yang Kontras dengan Duka Rakyat
Di tanah air, waktunya terasa ironis.
Rakyat Indonesia masih berduka atas Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring muda yang tewas tertabrak kendaraan polisi saat demonstrasi.
Buruh, mahasiswa, hingga warga biasa turun ke jalan menuntut diakhirinya upah murah, korupsi, dan impunitas elit.
Inilah yang ditinggalkan Prabowo demi sebuah foto bersama di Beijing: penderitaan rakyat yang merasa ditelantarkan pemerintah, dan krisis legitimasi konstitusional.
Pesan yang ia kirimkan jelas: di saat rakyat menuntut jawaban, prioritasnya bukan mereka, melainkan dirinya sendiri.
Bagi Beijing, kalkulasinya juga jelas.
Bagi sebagian pengamat Tionghoa-Indonesia yang masih dihantui kenangan kerusuhan anti-Tionghoa 1998, kehadiran mendadak Prabowo — meski hanya sehari — menjadi sinyal penenang bahwa kerusuhan kini tidak akan merembet ke kekerasan etnis.