Namun, Dewan Penasehat Kerajaan menolak permintaan tersebut dengan alasan pemerintah sementara tidak memiliki kewenangan untuk mengambil langkah sebesar itu.
Keputusan ini memicu gelombang gugatan hukum. Anggota Partai Bhumjaithai melaporkan Phumtham karena dianggap bertindak di luar kewenangan.
Aktivis Srisuwan Janya juga melaporkan kasus ini ke Komisi Anti-Korupsi Nasional, mempertanyakan legalitas dan etika tindakan Phumtham.
Bahkan ada laporan lain yang mengaitkannya dengan undang-undang ketat tentang penghinaan terhadap kerajaan, yang bisa berimplikasi serius.
Pemilihan Perdana Menteri Baru
Setelah pembubaran DPR ditolak, fokus kini tertuju pada pemungutan suara pemilihan perdana menteri baru yang dijadwalkan pada 5 September.
Berdasarkan konstitusi yang berlaku, hanya kandidat yang diajukan pada pemilu 2023 yang bisa dipilih.
Nama-nama tersebut antara lain Anutin Charnvirakul (Bhumjaithai) dan Chaikasem Nitisiri (Pheu Thai).
Anutin telah mendapat dukungan 146 anggota parlemen berkat sokongan Partai Rakyat, namun belum jelas apakah jumlah itu cukup untuk meraih mayoritas di parlemen beranggotakan 500 orang.
Negosiasi koalisi masih berlangsung dengan penuh ketidakpercayaan.
Partai Rakyat (sebelumnya Move Forward Party)—pemenang kursi terbanyak pada 2023 namun terhalang masuk pemerintahan oleh Senat—kini menjadi kunci.
Ketua partai, Natthaphong Ruengpanyawut, menegaskan pemerintahan baru harus mendorong amandemen konstitusi dan pemilu cepat, sejalan dengan aspirasi publik.
Jika Anutin terpilih, ia berjanji menggelar pemilu dalam empat bulan, yang berarti rakyat Thailand bisa kembali ke TPS pada awal 2026.
Namun, jika Chaikasem dari Pheu Thai yang memimpin, pemerintahan sementara mungkin bertahan lebih lama, berisiko memicu kemarahan publik dan memperburuk kondisi ekonomi.