MEGAPOLITIK.COM - Tanggal 8 Agustus 2025 menandai dua abad sejak penandatanganan Perjanjian Kutai–Belanda pada 1825 di Tenggarong.
Peristiwa bersejarah ini menjadi tonggak awal hubungan politik antara Kesultanan Kutai dan Pemerintah Hindia Belanda, namun ironisnya jarang mendapat perhatian, baik dari publik maupun negara.
Sejarawan publik Muhammad Sarip menilai momentum ini seharusnya masuk dalam narasi sejarah nasional yang selama ini terlalu terpusat di Pulau Jawa.
“Pada 8 Agustus 1825, Kesultanan Kutai dipimpin Sultan Aji Muhammad Salihuddin. Pihak Belanda diwakili George Muller sebagai utusan Gubernur Jenderal di Batavia. Kesepakatan ini terjadi damai tanpa peperangan,” jelas penulis buku Histori Kutai tersebut di Samarinda, Rabu (7/8/2025).
Sejarah Kaltim yang Tersisihkan dari Pusat
Sarip menyayangkan minimnya perhatian pemerintah pusat terhadap sejarah Kalimantan Timur.
Saat peringatan 200 tahun Perang Jawa (Perang Diponegoro) dirayakan meriah di Jakarta, sejarah Kutai nyaris tak terdengar.
Bahkan, revisi Sejarah Nasional Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan RI tidak melibatkan Kaltim.
Narasi kerajaan dan kesultanan lokal tidak jelas posisinya dalam buku yang akan diluncurkan pada 17 Agustus mendatang.
“Kaltim, khususnya Kutai Kartanegara, harus mengambil inisiatif sendiri. Forum literasi publik adalah ruang untuk menghidupkan kembali ingatan kolektif sejarah ini,” tegas Sarip.
Forum Publik Mengangkat Kembali Sejarah Kutai
Merespons pengabaian ini, komunitas literasi Sumbu Tengah bekerja sama dengan Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Mulawarman dan Lasaloka-KSB menggelar diskusi publik di Universitas Mulawarman pada 8 Agustus 2025.
Acara bertema Peringatan 200 Tahun Perjanjian Kutai–Belanda 1825: Refleksi Historis dan Dampak Multidimensi bagi Kutai–Kaltim ini menghadirkan anggota DPD RI Dapil Kaltim Aji Mirni Mawarni sebagai keynote speaker, serta narasumber Aji Muhammad Mirza Wardana, Muhammad Azmi, dan Muhammad Sarip.
Pentingnya Menghidupkan Kembali Literasi Sejarah Lokal
Founder Sumbu Tengah, Rusdianto, menegaskan bahwa sejarah lokal tidak bisa menunggu diakui pusat.
“Momentum 200 tahun ini tidak akan terulang. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Peringatan berikutnya adalah 250 tahun di 2075,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa forum publik bukan sekadar seremoni, melainkan pembelaan terhadap sejarah lokal yang dilupakan.
“Literasi sejarah harus berbasis riset, sumber primer, dan dihidupkan kembali melalui ruang publik yang kritis,” pungkasnya. (tam)
- 6.279 Perceraian, Ribuan Perempuan Jadi Janda Sepanjang 2024! Mayoritas Gegara Judi
- HKTI Kaltim Satu Irama di Program Ketahanan Pangan Prabowo Subianto, Hilirisasi Sawit Jadi Fokus
- Daniel Mahendra Sorot Adanya Draft RUU Minerba Perbolehkan Kampus Terlibat Industri Tambang, Sebut soal Transparansi dan Integritas