Hasan menjelaskan bahwa dorongan agar stairlift dijadikan fasilitas tetap datang dari berbagai komunitas, termasuk umat Buddha dan pemerhati kebudayaan.
Ia menyebut ide ini berangkat dari keinginan menjadikan Borobudur sebagai ruang budaya yang inklusif.
Meski begitu, keputusan akhir tetap berada di tangan kementerian terkait, Dewan Cagar Budaya, dan pengelola situs.
“Pasti akan ada pembahasan resmi sebelum keputusan diambil,” katanya.
Namun, tidak semua pihak sependapat. Arkeolog dari Universitas Negeri Malang, Ismail Lutfi, menolak rencana pemasangan stairlift secara permanen. Ia menilai alat ini semata-mata dipasang menjelang kunjungan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan bisa merusak nilai historis situs.
“Pelestarian Candi Borobudur selama puluhan tahun sudah menghabiskan banyak tenaga, waktu, dan biaya. Semua itu tidak bisa dikorbankan hanya demi kenyamanan sesaat atau kepentingan pihak tertentu,” kata Lutfi.
Ia mengingatkan bahwa sebagai warisan dunia, Borobudur harus dijaga dengan perlakuan yang proporsional.
Menurutnya, candi tersebut tidak boleh dijadikan alat politik, religi, ataupun pariwisata secara berlebihan. Lutfi juga menegaskan pentingnya konsistensi dalam menerapkan aturan pelestarian. (tam)