MEGAPOLITIK.COM - Pada Rabu pagi di Beijing, saat Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok berbaris serempak melintasi Lapangan Tiananmen, satu sosok pemimpin asing tampak duduk mencolok di dekat presiden Tiongkok dan Rusia.
Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, mengenakan setelan abu-abu rapi, duduk bahu-membahu dengan Vladimir Putin dan Xi Jinping. Ia tersenyum, berbincang, bertepuk tangan bersama ketika rudal dan drone melintas di hadapan mereka.
Sekilas, momen itu terlihat seperti kemenangan diplomatik bagi Beijing: seorang kepala negara Asia Tenggara menunjukkan solidaritas dengan Xi dalam peringatan 80 tahun “Hari Kemenangan” Tiongkok.
Namun, bagi masyarakat Indonesia di tanah air, gambar tersebut terasa janggal.
Hanya beberapa hari sebelumnya, Indonesia diguncang salah satu kerusuhan terburuk sejak 1998.
Sejumlah warga tewas — mulai dari demonstran, orang yang kebetulan melintas, hingga pengemudi ojek daring — akibat tindakan represif aparat.
Dari Jakarta hingga pelosok daerah, 107 lokasi di 32 wilayah masih berbau gas air mata ketika Prabowo menaiki pesawat kepresidenannya untuk perjalanan singkat semalam ke Tiongkok.
Membalik Keputusan: Undangan Khusus dari Xi
Sebelumnya, pemerintah telah mengumumkan bahwa Prabowo akan melewatkan KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), dengan alasan harus memantau situasi dalam negeri.
Pernyataan Indonesia di Tianjin pun disampaikan oleh Menlu, bukan presiden.
Namun, secara tiba-tiba Prabowo mengubah keputusan: ia hadir di parade militer, dengan alasan adanya “undangan khusus” dari Xi.
Langkah ini memperlihatkan sesuatu yang penting dari gaya kepemimpinan Prabowo.
Di tengah krisis, ketika rakyat menuntut akuntabilitas, ia justru memilih simbolisme panggung dunia yang penuh daya pikat.
Protokol Tiongkok menempatkan Prabowo tepat di samping Putin dan Xi — sebuah posisi yang jelas bukan kebetulan.
Diplomat Beijing paham betul akan sifat tamu mereka.
Mereka tahu Prabowo, yang sejak lama membangun citra sebagai “prajurit-negara” yang dirugikan sejarah, mendambakan kedekatan dengan tokoh-tokoh kuat.
Kehadiran Prabowo bersama Putin dan Xi, yang direkam media internasional, menghadirkan gambaran yang ia inginkan: bukan sebagai pemimpin yang tengah diguncang masalah di dalam negeri, melainkan sejajar dengan para pria kuat dunia.
Sejarah, Simbol, dan Ego
Perlu diingat, betapa jarangnya gestur ini.
Terakhir kali seorang presiden Indonesia menghadiri parade nasional Tiongkok adalah tahun 1956, ketika Sukarno berdiri bersama Mao Zedong dalam perayaan Hari Nasional.
Kehadiran Prabowo kini dimaksudkan sebagai tanda kebangkitan hubungan bersejarah.
Namun, simbolisme ini lebih terasa sebagai panggung teater dibanding diplomasi.
Tiongkok mendapat tambahan gengsi; Prabowo mendapat pemolesan ego.
Secara resmi, Jakarta menyebut kunjungan itu sebagai upaya mengamankan investasi energi, mineral, kerja sama digital, dan modernisasi militer.
Tetapi semua itu bisa saja dibahas dalam forum SCO yang justru ia lewatkan.
Kehadirannya dalam parade yang terancang rapi — bukan di meja perundingan — menunjukkan bahwa substansi bukanlah prioritas utama.
Waktu yang Kontras dengan Duka Rakyat
Di tanah air, waktunya terasa ironis.
Rakyat Indonesia masih berduka atas Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring muda yang tewas tertabrak kendaraan polisi saat demonstrasi.
Buruh, mahasiswa, hingga warga biasa turun ke jalan menuntut diakhirinya upah murah, korupsi, dan impunitas elit.
Inilah yang ditinggalkan Prabowo demi sebuah foto bersama di Beijing: penderitaan rakyat yang merasa ditelantarkan pemerintah, dan krisis legitimasi konstitusional.
Pesan yang ia kirimkan jelas: di saat rakyat menuntut jawaban, prioritasnya bukan mereka, melainkan dirinya sendiri.
Bagi Beijing, kalkulasinya juga jelas.
Bagi sebagian pengamat Tionghoa-Indonesia yang masih dihantui kenangan kerusuhan anti-Tionghoa 1998, kehadiran mendadak Prabowo — meski hanya sehari — menjadi sinyal penenang bahwa kerusuhan kini tidak akan merembet ke kekerasan etnis.
Indonesia Kehilangan Momentum Diplomasi
Faktanya, Indonesia nyaris tidak mendapat apa-apa dari perhelatan ini.
Posisi Jakarta di forum SCO sudah ditegaskan Menlu: non-blok, multilateralisme, dan solidaritas dengan Global South.
Sebaliknya, tampilnya presiden di parade militer yang memamerkan kekuatan Tiongkok dan Rusia justru mengaburkan reputasi Indonesia sebagai kekuatan independen dan penengah di Asia.
Kekhawatiran yang lebih mendalam adalah soal insting kepemimpinan Prabowo.
Berulang kali ia menunjukkan preferensi pada gemerlap kekuasaan — seragam, upacara, sesi foto — ketimbang kerja keras akuntabilitas demokratis.
Ia kerap berbicara soal stabilitas dan ketertiban.
Namun, ketika rakyat menuntut keadilan atas kekerasan, perlindungan upah, atau transparansi, ia justru absen. Sebaliknya, ketika Xi memanggil, ia langsung terbang semalam.
Demokrasi yang Rapuh
Ini bukan sekadar persoalan pencitraan; ini adalah praktik pemerintahan yang korosif.
Seorang pemimpin yang lebih mementingkan pengakuan simbolis di luar negeri sambil menelantarkan tuntutan demokratis di dalam negeri bukan hanya gagal memimpin rakyatnya, tetapi juga mengubah makna kedaulatan menjadi sekadar proyeksi diri.
Posisi Indonesia di dunia tidak akan ditentukan oleh kursi Prabowo di samping Putin dan Xi.
Posisi itu akan ditentukan oleh apakah rakyat Indonesia merasa terwakili, dilindungi, dan dihormati di negerinya sendiri.
Hingga saat itu, satu-satunya parade yang pantas dicatat hanyalah di Lapangan Tiananmen — parade bukan tentang martabat bangsa, melainkan tentang ego seorang pemimpin yang tak kunjung tenang. (***)
Disadur dari artikel https://chinaglobalsouth.com/analysis/prabowo-beijing-parade-indonesia-crisis/
This article was co-authored by Yeta Purnama, a researcher at the Center of Economic and Law Studies (CELIOS), and Muhammad Zulfikar Rakhmat, Director of the China-Indonesia Desk at CELIOS.
- Mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro Dikenai Gelang Kaki Elektronik dan Dilarang Keluar Rumah oleh Mahkamah Agung
- Trump Bocorkan Isi Kesepakatan dengan Indonesia: AS Dapat Akses Penuh ke Sumber Daya RI
- Indonesia dan Arab Saudi Sepakati Kerja Sama dengan Investasi Rp 437 Triliun di Sektor Energi dan Petrokimia