MEGAPOLITIK.COM - Ketegangan politik di Thailand semakin memanas setelah permintaan Perdana Menteri sementara, Phumtham Wechayachai, untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditolak.
Usulan tersebut, yang bertujuan mempercepat pemilu baru, digagalkan oleh Dewan Penasehat Kerajaan (Privy Council).
Langkah ini menambah ketidakstabilan yang sudah berlangsung di seluruh negeri.
Parlemen dijadwalkan memilih perdana menteri baru pada Jumat mendatang, setelah Paetongtarn Shinawatra dicopot dari jabatannya.
Perkembangan ini dinilai akan menentukan arah demokrasi Thailand di masa depan.
Akar krisis ini berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi pada 29 Agustus, yang dalam voting 6-3 menyatakan Paetongtarn bersalah melanggar etika menteri.
Hal itu terjadi setelah ia melakukan pembicaraan telepon dengan mantan pemimpin Kamboja, Hun Sen, terkait isu sensitif perbatasan.
Mahkamah menilai tindakannya inkonstitusional dan merugikan kepentingan nasional.
Paetongtarn, putri mantan PM Thaksin Shinawatra sekaligus Ketua Partai Pheu Thai, sebelumnya telah diskors sejak 1 Juli sambil menunggu putusan.
Pencopotannya menjadi pukulan kedua bagi keluarga Shinawatra, setelah Srettha Thavisin dilengserkan pada Agustus 2024.
Permintaan Pembubaran DPR Ditolak
Melansir Chiangraitimes, pada 3 September, Phumtham mengajukan permintaan kepada Raja Maha Vajiralongkorn untuk membubarkan DPR agar pemilu baru bisa digelar dalam dua bulan.
Langkah ini merespons desakan Partai Rakyat—oposisi terbesar saat ini—yang mendukung Anutin Charnvirakul dari Partai Bhumjaithai sebagai perdana menteri.
Partai Rakyat menuntut pemerintah baru membubarkan DPR dalam empat bulan agar rakyat dapat menentukan arah negara.
Phumtham menyebut langkah ini sebagai cara untuk “mengatur ulang” sistem politik dan memperbaiki demokrasi yang dianggap sudah tidak berjalan sehat.
Ia juga menyerukan referendum untuk mengubah Konstitusi 2017, yang banyak dikritik karena memperkuat kendali militer dan monarki. Sebagai alternatif sementara, ia menyarankan kembali ke Konstitusi 1997 yang lebih terbuka.
Namun, Dewan Penasehat Kerajaan menolak permintaan tersebut dengan alasan pemerintah sementara tidak memiliki kewenangan untuk mengambil langkah sebesar itu.
Keputusan ini memicu gelombang gugatan hukum. Anggota Partai Bhumjaithai melaporkan Phumtham karena dianggap bertindak di luar kewenangan.
Aktivis Srisuwan Janya juga melaporkan kasus ini ke Komisi Anti-Korupsi Nasional, mempertanyakan legalitas dan etika tindakan Phumtham.
Bahkan ada laporan lain yang mengaitkannya dengan undang-undang ketat tentang penghinaan terhadap kerajaan, yang bisa berimplikasi serius.
Pemilihan Perdana Menteri Baru
Setelah pembubaran DPR ditolak, fokus kini tertuju pada pemungutan suara pemilihan perdana menteri baru yang dijadwalkan pada 5 September.
Berdasarkan konstitusi yang berlaku, hanya kandidat yang diajukan pada pemilu 2023 yang bisa dipilih.
Nama-nama tersebut antara lain Anutin Charnvirakul (Bhumjaithai) dan Chaikasem Nitisiri (Pheu Thai).
Anutin telah mendapat dukungan 146 anggota parlemen berkat sokongan Partai Rakyat, namun belum jelas apakah jumlah itu cukup untuk meraih mayoritas di parlemen beranggotakan 500 orang.
Negosiasi koalisi masih berlangsung dengan penuh ketidakpercayaan.
Partai Rakyat (sebelumnya Move Forward Party)—pemenang kursi terbanyak pada 2023 namun terhalang masuk pemerintahan oleh Senat—kini menjadi kunci.
Ketua partai, Natthaphong Ruengpanyawut, menegaskan pemerintahan baru harus mendorong amandemen konstitusi dan pemilu cepat, sejalan dengan aspirasi publik.
Jika Anutin terpilih, ia berjanji menggelar pemilu dalam empat bulan, yang berarti rakyat Thailand bisa kembali ke TPS pada awal 2026.
Namun, jika Chaikasem dari Pheu Thai yang memimpin, pemerintahan sementara mungkin bertahan lebih lama, berisiko memicu kemarahan publik dan memperburuk kondisi ekonomi.
Masa Depan Demokrasi Thailand
Krisis politik ini sudah memengaruhi ekonomi Thailand, yang sangat bergantung pada sektor pariwisata.
Target 39 juta wisatawan dalam program “Amazing Thailand Grand Tourism and Sports Year 2025” terancam gagal akibat ketidakstabilan. Investor pun semakin berhati-hati.
Situasi ini juga menegaskan betapa kuatnya pengaruh monarki dan lembaga yudisial dalam politik Thailand.
Sejak 2023, Mahkamah Konstitusi telah mencopot tiga perdana menteri, sementara kini Dewan Penasehat Kerajaan menghalangi rencana pemilu cepat.
Konstitusi 2017 dianggap sebagai sumber konflik, dan desakan reformasi semakin keras terdengar.
Menjelang pemungutan suara Jumat nanti, Thailand berada di titik krusial.
Hasilnya akan menentukan kepemimpinan sekaligus kesehatan demokrasi negara itu.
Jika gagal membentuk pemerintahan stabil, kekecewaan publik bisa semakin dalam. Seperti yang diungkapkan warga Bangkok, Kanjana Sangkasupan: “Selalu saja perebutan kekuasaan yang sama, sementara hidup kami tidak pernah berubah.”
Ada harapan bahwa koalisi baru atau janji pemilu cepat bisa memutus siklus krisis.
Namun, semuanya bergantung pada apakah sistem politik saat ini memungkinkan.
Baik rakyat Thailand maupun dunia kini menunggu langkah berikutnya dari Bangkok, saat masa depan demokrasi negara itu berada di ujung tanduk. (tam)
- Isi Lengkap Perjanjian Perdagangan Amerika Serikat - Indonesia, Ada Soal Transfer Data Pribadi hingga Pengadaan Pesawat
- Indonesia dan Arab Saudi Sepakati Kerja Sama dengan Investasi Rp 437 Triliun di Sektor Energi dan Petrokimia
- Mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro Dikenai Gelang Kaki Elektronik dan Dilarang Keluar Rumah oleh Mahkamah Agung