"Banyak dari mereka kemungkinan besar tidak akan menerima pesangon. Ini terjadi karena aset yang dijual biasanya digunakan untuk melunasi utang-utang perusahaan, termasuk kepada bank dan pemasok. Dalam situasi seperti ini, pesangon sering kali menjadi yang terakhir dipikirkan," ujarnya.
Berdasarkan pengalaman Ristadi dalam menangani kasus serupa, ketika sebuah perusahaan pailit dengan utang lebih besar dari aset, pekerja hanya mendapatkan sekitar 2,5 persen dari hak pesangon yang seharusnya mereka terima.
Ketidakpastian ini tentu menambah beban psikologis bagi para karyawan Sritex.
Sebelumnya, pada Juni 2024, perusahaan telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap hampir 3.000 karyawan, yang setara dengan 35 persen dari total karyawan Sritex.
Saat itu, Direktur Independen Sritex, Regina Lestari Busono, mengungkapkan bahwa perusahaan mengalami penurunan kinerja yang signifikan akibat dampak pandemi Covid-19.
Sementara itu, saat ini belum ada informasi resmi dari manajemen Sritex mengenai langkah-langkah yang akan diambil terkait putusan pailit ini, termasuk mengenai nasib para karyawan setelah keputusan tersebut.
Dalam situasi ini, rasa cemas dan bingung semakin meliputi para pekerja yang bergantung pada perusahaan tersebut untuk penghidupan mereka.