Ia menegaskan pentingnya tata kelola anggaran yang efektif agar tekanan pajak terhadap masyarakat tidak semakin berat.
“Kalau beban negara makin besar, efek dominnonya akan ke mana-mana,” tegasnya.

Purwadi juga menyoroti minimnya pelibatan masyarakat lokal di kawasan IKN. Contohnya, tender katering senilai Rp10 miliar per hari justru dimenangkan oleh vendor luar daerah.
“Seharusnya peluang seperti ini bisa diberikan ke BUMD atau pengusaha lokal. Tapi karena syaratnya berat dan sertifikasi tinggi, masyarakat lokal hanya jadi penonton,” ujarnya.
Ia menambahkan, perda yang mewajibkan 20 persen tenaga kerja IKN berasal dari lokal pun belum berjalan efektif.
“Kalau sertifikatnya bikin orang lokal enggan ikut, ya sama saja bohong,” ucapnya.
Akibatnya, IKN yang digadang-gadang sebagai superhub ekonomi justru menciptakan paradoks.
“Investasi besar, MoU luar negeri banyak, tapi dampak ekonominya ke daerah hampir tak terasa,” katanya.
Purwadi menilai seharusnya keberadaan IKN bisa menjadi ledakan ekonomi bagi Kalimantan Timur.
Namun kenyataannya, inflasi justru meningkat di Penajam Paser Utara (PPU) dan Paser, sementara tujuh kabupaten/kota lainnya masih jauh dari konsep pertumbuhan inklusif.
“Penyakit ekonomi itu dua: inflasi dan deflasi. Sekarang dua-duanya muncul di wilayah kita,” ujarnya.
Ia menutup pandangannya dengan menegaskan bahwa pembangunan besar seperti IKN semestinya berfokus pada pertumbuhan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat, bukan sekadar infrastruktur megah.
“Tanpa itu, proyek besar hanya akan jadi ‘perempuan cantik berdandan’, menarik dilihat tapi tak menyentuh warga sekitar,” tutupnya. (tam)




