Yogyakarta (4 Januari 1946 – 27 Desember 1949)
Namun kondisi politik, keamanan, serta serangan Belanda melalui tentara NICA membuat situasi di Jakarta menjadi sangat genting.
Sultan Hamengkubuwono IX mengusulkan agar ibu kota dipindahkan sementara ke Yogyakarta. Keputusan resmi pengalihan dibuat awal Januari 1946.
Di Yogyakarta, pemerintah RI menetap dan mengatur jalannya pemerintahan di Gedung Agung serta fasilitas pemerintahan lainnya hingga tahun 1949, saat Konferensi Meja Bundar dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah itu, ibu kota kembali ke Jakarta.
Bukittinggi, Sumatera Barat (Desember 1948 – Juni 1949)
Di masa agresi Belanda kedua ketika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada Desember 1948, pemerintah Republik Indonesia menghadapi kekosongan kepemimpinan pusat.
Sebagai reaksi terhadap keadaan darurat tersebut, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk dan berpusat di Bukittinggi.
Pemerintah darurat ini dikendalikan oleh tokoh seperti Sjafruddin Prawiranegara sebagai upaya menjaga kontinuitas negara.