MEGAPOLITIK.COM - Nama Riza Chalid, taipan yang lama dikenal sebagai pemain besar di dunia perdagangan minyak, kembali jadi sorotan publik usai mencuatnya kasus korupsi Pertamina 2025.
Pria yang dijuluki “The Gasoline Godfather” itu kini resmi masuk dalam daftar buronan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Riza Chalid bersama putranya, Muhammad Kerry Adrianto, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi perdagangan minyak mentah Pertamina.
Keduanya disinyalir berperan sebagai beneficial owner di sejumlah perusahaan terafiliasi, termasuk PT Orbit Terminal Merak.
Dalam praktik korporasi, beneficial owner merujuk pada individu yang sebenarnya memegang kendali penuh terhadap perusahaan, meski kepemilikan resmi tercatat atas nama pihak lain.
Hasil penyelidikan menunjukkan, kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp285 triliun atau sekitar 17,3 miliar dolar AS (dengan kurs Rp16.500 per dolar).
Angka tersebut melonjak dari estimasi awal Kejagung sebesar Rp193,7 triliun.
Besarnya nilai kerugian membuat skandal Pertamina 2025 ini masuk dalam jajaran kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.
Riza Chalid Jadi Buronan
Riza Chalid ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) yang terjadi pada periode 2018–2023.
Setelah tiga kali mangkir dari panggilan penyidik, Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya menetapkan namanya dalam daftar pencarian orang (DPO) atau buronan.
Dari total 18 tersangka yang ditetapkan, hampir semuanya sudah mendekam di balik jeruji.
Namun, hingga kini Riza Chalid masih menjadi satu-satunya tersangka yang belum diketahui keberadaannya.
Sebaliknya, eks Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution, sudah lebih dulu ditahan.
Bukan kali pertama namanya tersorot, Riza Chalid dikenal luas di dunia energi.
Riza Chalid pernah berada di lingkaran Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) di Singapura dan melalui perusahaannya, Global Energy Resources, sempat menjadi pemasok minyak terbesar untuk Petral.
Riza Chalid tercatat memiliki Gold Manor, perusahaan yang terseret kasus tender impor minyak Zatapi pada 2008.
Riza Chalid juga memiliki jaringan bisnis di sektor ritel mode, perkebunan sawit, hingga industri minuman.
Pada 2015, majalah Globe Asia bahkan menempatkannya di posisi ke-88 daftar orang terkaya Indonesia, dengan total kekayaan diperkirakan mencapai 415 juta dolar AS.
Rekam Jejak Kontroversial
Nama Riza Chalid kembali jadi sorotan publik sejak terungkap skandal besar pada 2015, yakni kasus “Papa Minta Saham” yang menyeret Ketua DPR saat itu, Setya Novanto.
Dalam rekaman percakapan dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, Riza Chalid diduga ikut menyinggung rencana pembagian saham Freeport untuk kalangan elite politik.
Kasus tersebut bahkan sempat dijuluki sebagai versi kelas atas dari “Mama Minta Pulsa”.
Meski akhirnya tidak terseret ke meja hijau, Kapolri kala itu, Badrodin Haiti, menegaskan adanya indikasi kuat praktik pemufakatan jahat.
Pada 2018, nama Riza Chalid kembali muncul dalam kasus pelarian Eddy Sindoro, eks petinggi Lippo Group.
Seorang staf maskapai mengaku, sekretaris Riza Chalid diminta ikut membantu Eddy lolos dari pemeriksaan imigrasi di Bandara Soekarno-Hatta.
Di luar ranah bisnis, Riza Chalid juga kerap dikaitkan dengan dunia politik.
Pada Pemilu 2014, Riza Chalid disebut-sebut menjadi salah satu penyokong dana pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Bahkan, Riza Chalid diduga ikut membiayai penerbitan tabloid kontroversial Obor Rakyat serta pembelian Rumah Polonia, yang waktu itu dijadikan markas tim sukses.
Kini, nama Riza Chalid kembali mencuat, namun dengan status buron dalam kasus dugaan korupsi Pertamina 2025.
Kronologi Kasus Dugaan Korupsi Pertamina
Kejaksaan Agung resmi membongkar skandal dugaan korupsi besar di tubuh Pertamina yang terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada Senin, 24 Februari 2025.
Praktik curang ini diduga melibatkan Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sepanjang periode 2018–2023.
Padahal, saat itu pemerintah mewajibkan Pertamina untuk lebih dulu menyerap pasokan minyak dari dalam negeri sebelum membuka keran impor.
Namun, aturan tersebut justru dimanipulasi.
Mantan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, bersama Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin, dan VP Feedstock Management PT KPI, Agus Purwono, diduga sengaja menurunkan kapasitas produksi kilang.
Akibatnya, minyak mentah dari dalam negeri tak terserap dan terpaksa dijual ke luar negeri.
Bahkan, pasokan dari KKKS ditolak dengan alasan “tidak sesuai spesifikasi” atau “tak layak secara ekonomis” sehingga ekspor menjadi pilihan yang dipaksakan.
Ironisnya, kebutuhan energi nasional kemudian dipenuhi lewat impor.
PT Kilang Pertamina Internasional membeli minyak mentah dengan harga jauh lebih tinggi dibandingkan produksi lokal.
Lebih parah lagi, dalam prosesnya ditemukan manipulasi, di mana impor produk kilang yang diklaim sebagai Ron 92 (Pertamax), ternyata hanyalah Ron 90 (Pertalite) yang kualitasnya lebih rendah.
Produk itu lalu dicampur (blending) di depo agar tampak sesuai standar Ron 92, praktik yang jelas melanggar aturan.
Tak berhenti di situ, Direktur PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi, diduga menggelembungkan harga impor hingga 13–15 persen.
Skema ini menguntungkan pihak perantara, salah satunya broker PT Navigator Khatulistiwa Muhammad.
“Dampaknya, impor yang mendominasi pasokan membuat harga minyak mentah melonjak tajam,” ujar penyidik Kejagung, Qohar.
Selain itu, Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspat, dan Dirut PT Orbit Terminal Merak Gading, Ramadan Joede, disebut ikut bermain.
Keduanya menjalin komunikasi dengan tersangka Agus Purwono untuk mendapatkan harga tinggi, bahkan saat syarat belum terpenuhi.
Persetujuan impor pun dikantongi dari Sani Dinar Saifuddin untuk minyak mentah, dan dari Riva Siahaan untuk produk kilang.
Dugaan rekayasa tersebut tak hanya merugikan negara, tapi juga berdampak langsung pada rakyat.
Pasalnya, komponen harga dasar yang menjadi acuan penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM ikut melambung.
HIP inilah yang kemudian dipakai pemerintah sebagai dasar pemberian subsidi maupun kompensasi BBM melalui APBN setiap tahun.
Aset Riza Chalid Disita Kejagung
Kejaksaan Agung terus menelusuri jejak harta kekayaan Riza Chalid.
Sejumlah aset yang diduga milik Riza Chalid kini resmi disita.
Berikut beberapa di antaranya:
1. Rumah Mewah Tiga Lantai
Salah satu aset paling mencolok adalah rumah megah di kawasan elit Perumahan Rancamaya Golf Estate, Bogor Selatan.
Berlokasi di Jalan Bunga Raya nomor 9, 10, dan 11, hunian seluas 6.570 meter persegi ini berdiri di atas tiga Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).
Bangunan tiga lantai tersebut dikelilingi taman luas, pepohonan rindang, dan dilengkapi fasilitas kolam renang pribadi.
Meski sertifikat rumah tidak atas nama Riza Chalid, tapi kejaksaan menduga rumah itu dibeli dari uang bos minyak tersebut.
Aset itu disita berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU yang menyerat Riza Chalid.
Penyitaan dilakukan pada 26 Agustus 2025.
2. Empat Unit Mobil Mewah di Bekasi
Dari wilayah Bekasi, kejaksaan mengamankan empat mobil mewah yang ditengarai milik Riza Chalid.
Kendaraan itu meliputi satu unit BMW 528 putih, satu unit Toyota Rush, serta dua unit Mitsubishi Pajero Sport.
Mobil itu disita dari pihak yang terafiliasi Riza Chalid, namun diduga merupakan aset Riza yang disamarkan kepemilikannya.
Disita pada 13 Agustus 2025.
3. Lima Mobil Premium di Jakarta Selatan
Penyitaan lain dilakukan di kawasan Tegal Parang, Jakarta Selatan, dari tangan Irawan Prakoso, pihak yang disebut terhubung dengan Riza Chalid.
Aset yang diamankan antara lain satu unit Toyota Alphard, satu Mini Cooper, serta tiga sedan Mercy.
Mobil-mobil itu bahkan tidak dilengkapi pelat nomor, memperkuat dugaan bahwa kepemilikan sebenarnya sengaja ditutupi.
Penindakan dilakukan pada malam hari, 4 Agustus 2025.
4. PT Orbit Terminal Merak
PT Orbit Terminal Merak, yang tercatat atas nama putra Riza Chalid, Muhammad Kerry Ardianto, ikut dibekukan.
Baik Riza Chalid maupun anaknya disebut sebagai beneficial owner perusahaan yang terjerat dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina.
(apr)