MEGAPOLITIK.COM - Aksi protes terhadap aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, mencuat dalam perhelatan Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Hotel Pullman, Jakarta, pada 3 Juni 2025 lalu.
Dalam momen tersebut, tiga aktivis Greenpeace Indonesia bersama seorang perempuan asli Papua membentangkan spanduk protes saat Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno tengah berpidato.
Greenpeace menyuarakan kekhawatiran atas dampak buruk pertambangan terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal.
Menurut lembaga ini, eksplorasi dan produksi nikel di sejumlah pulau di Raja Ampat—seperti Gag, Kawe, dan Manuran—telah mengakibatkan kerusakan serius sejak 2024.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), terdapat empat perusahaan tambang nikel yang aktif di wilayah ini.
Dari keempatnya, hanya tiga yang telah mengantongi izin penggunaan kawasan hutan (PPKH), sedangkan satu perusahaan lainnya belum memenuhi syarat lingkungan.
1. PT Gag Nikel
Perusahaan ini sudah mengantongi kontrak karya sejak 1998.
Awalnya, 75% saham dimiliki Asia Pacific Nickel Pty Ltd (Australia), dan 25% oleh PT Antam Tbk.
Namun, sejak 2008, Antam mengambil alih seluruh saham dan menjadikan PT Gag Nikel sebagai anak usaha penuh.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, luas wilayah izin tambangnya mencapai 13.136 hektare. Produksi resmi dimulai pada 2018 setelah mendapat izin produksi pada 2017.
2. PT Anugerah Surya Pratama
Merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang berada di bawah Wanxiang Group asal Tiongkok.
Di Indonesia, aktivitasnya dioperasikan oleh PT Wanxiang Nickel Indonesia. Selain Raja Ampat, Wanxiang juga aktif di kawasan industri nikel Morowali. Lokasi tambangnya di Raja Ampat mencakup Pulau Waigeo dan Pulau Manuran.
3. PT Mulia Raymond Perkasa
Informasi publik mengenai perusahaan ini masih terbatas. Namun, KLH mencatat aktivitas pertambangan perusahaan ini berlangsung di Pulau Batang Pele. Sayangnya, kegiatan mereka ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan maupun izin penggunaan kawasan hutan, sehingga seluruh aktivitasnya telah dihentikan.
Kantor perusahaan tercatat di The Boulevard Office, Jakarta Pusat.
4. PT Kawei Sejahtera Mining
Perusahaan ini memegang izin usaha pertambangan (IUP) dengan masa berlaku hingga 26 Februari 2033.
Namun, KLH menemukan bahwa PT Kawei Sejahtera Mining membuka area tambang seluas 5 hektare di luar batas izin lingkungan dan PPKH.
Kegiatan ini menyebabkan sedimentasi di garis pantai, dan perusahaan telah dikenai sanksi administratif serta diperintahkan melakukan pemulihan lingkungan. (tam)