MEGAPOLITIK.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengubah format pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia.
Dalam putusan yang dibacakan Kamis, 26 Juni 2025, MK menyatakan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi digelar secara serentak.
Artinya, sistem lima kotak suara yang dipakai pada Pemilu Serentak 2024 tak akan berlaku lagi ke depan.
Putusan ini merupakan jawaban atas gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada.
MK menyetujui usulan Perludem yang mendorong pemisahan jadwal antara pemilu legislatif dan pilkada dengan jeda maksimal dua setengah tahun.
Latar Belakang: Kompleksitas dan Beban Pemilu Lima Surat Suara
Pada Pemilu 2024 lalu, masyarakat harus memilih lima jenis perwakilan dalam satu hari, yaitu:
- Presiden dan Wakil Presiden
- Anggota DPR RI
- Anggota DPD RI
- Anggota DPRD Provinsi
- Anggota DPRD Kabupaten/Kota
Kelima surat suara tersebut memiliki warna dan ukuran berbeda, yang menambah kerumitan bagi pemilih dan penyelenggara.
Hal ini sempat menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Perludem, yang menilai beban kerja penyelenggara dan pemilih sangat berat serta tidak ideal secara demokratis.
Perludem: Pemilu Serentak Tak Efisien
Sudah sejak 2019, Perludem menyuarakan bahwa pemilu serentak lima kotak terlalu membebani semua pihak.
Direktur Perludem saat itu, Titi Anggraini, menyebutkan bahwa sistem ini melemahkan kelembagaan partai, menyulitkan kaderisasi, dan berdampak negatif pada kualitas pemilu.
Melalui gugatan ke MK (Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024), Perludem meminta agar pemilu nasional—terdiri dari Pilpres, Pileg DPR dan DPD—dipisahkan dari pemilu lokal atau pilkada, yang mencakup pemilihan gubernur, bupati, wali kota, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Pertimbangan MK: Dampak Serentak Terlalu Besar
Hakim MK Saldi Isra menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu yang terlalu berdekatan waktunya dengan pilkada menyebabkan rakyat kesulitan mengevaluasi kinerja pejabat publik.
Isu lokal juga kerap tenggelam oleh dominasi narasi nasional saat pemilu digabungkan.
Selain itu, partai politik tidak punya cukup waktu untuk menyiapkan kader terbaik jika harus bertarung di tiga level legislatif sekaligus.
Akibatnya, muncul pragmatisme dalam rekrutmen politik dan hilangnya idealisme partai.
Efisiensi Kerja Penyelenggara Pemilu
Hakim Arief Hidayat menambahkan bahwa sistem lama menyebabkan penyelenggara hanya aktif selama dua tahun masa jabatannya karena puncak kegiatan pemilu terpusat di satu titik waktu.
Sisanya menjadi masa ‘tidak produktif’ bagi KPU dan Bawaslu.
Dengan jadwal yang lebih terpisah dan terencana, penyelenggara diharapkan bisa bekerja lebih efisien dan profesional.
Keputusan Final: Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah Jarak Maksimal 2,5 Tahun
MK akhirnya mengabulkan seluruh permohonan Perludem dengan menyatakan pemilu nasional dan daerah harus dipisahkan paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden/Wapres serta DPR/DPD.
Pemilu Nasional
Presiden dan Wakil Presiden
DPR RI
DPD RI
Pemilu Daerah
DPRD Provinsi
DPRD Kabupaten/Kota
Gubernur dan Wakil Gubernur
Bupati/Wali Kota dan Wakilnya
Dengan format baru ini, diharapkan proses demokrasi berjalan lebih terstruktur, fokus, dan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kualitas representasi rakyat. (tam)