Perludem: Pemilu Serentak Tak Efisien
Sudah sejak 2019, Perludem menyuarakan bahwa pemilu serentak lima kotak terlalu membebani semua pihak.
Direktur Perludem saat itu, Titi Anggraini, menyebutkan bahwa sistem ini melemahkan kelembagaan partai, menyulitkan kaderisasi, dan berdampak negatif pada kualitas pemilu.
Melalui gugatan ke MK (Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024), Perludem meminta agar pemilu nasional—terdiri dari Pilpres, Pileg DPR dan DPD—dipisahkan dari pemilu lokal atau pilkada, yang mencakup pemilihan gubernur, bupati, wali kota, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Pertimbangan MK: Dampak Serentak Terlalu Besar
Hakim MK Saldi Isra menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu yang terlalu berdekatan waktunya dengan pilkada menyebabkan rakyat kesulitan mengevaluasi kinerja pejabat publik.
Isu lokal juga kerap tenggelam oleh dominasi narasi nasional saat pemilu digabungkan.
Selain itu, partai politik tidak punya cukup waktu untuk menyiapkan kader terbaik jika harus bertarung di tiga level legislatif sekaligus.
Akibatnya, muncul pragmatisme dalam rekrutmen politik dan hilangnya idealisme partai.
Efisiensi Kerja Penyelenggara Pemilu
Hakim Arief Hidayat menambahkan bahwa sistem lama menyebabkan penyelenggara hanya aktif selama dua tahun masa jabatannya karena puncak kegiatan pemilu terpusat di satu titik waktu.
Sisanya menjadi masa ‘tidak produktif’ bagi KPU dan Bawaslu.