"Gaji ayah sebagai pegawai negeri waktu itu hanya sekitar 25 rupiah per bulan. Setelah dipotong uang sewa rumah kami di Jalan Pahlawan 88, sisa uangnya hanya 15 rupiah. Bisa dibayangkan betapa sederhananya hidup kami," cerita Sukarno.
Kesulitan itu, membuatnya hampir tak pernah melewatkan hari-hari besar dengan kejutan hadiah atau pun makanan enak. Bahkan, pada saat Lebaran pun demikian.
"Pada malam takbiran, anak-anak biasanya menyalakan petasan. Semua anak melakukan itu, kecuali saya. Saya hanya bisa berbaring di kamar kecil, menatap langit dari lubang-lubang kecil di dinding bambu, mendengar suara petasan dan tawa riang anak-anak lain,". 4
"Hati saya hancur. Saya menangis di tempat tidur dan berkata pada ibu, "Setiap tahun aku berharap bisa punya petasan, tapi tidak pernah bisa," demikian dituliskan dalam buku Cindy Adams.
Meski demikian, kehidupan yang sulit di masa kecil, tak membuatnya patah arang. Justru, hal itu yang malah membuat Sukarno dekat dengan keluarganya. Khususnya sang ibu.
Bagi Sukarno, ibu adalah sosok yang sangat ia hormati dan kagumi.
"Ibu adalah segalanya bagi saya," aku Sukarno.