Setelah Perang Dunia II, Jepang mengalami demam gulat profesional.
Salah satu ikon saat itu adalah Rikidozan, pegulat berdarah Korea yang menyembunyikan asal-usulnya demi menjadi pahlawan nasional Jepang.
Melihat peluang itu, Ko Tae Mun mendirikan grup gulat profesional sendiri di Osaka pada tahun 1956, dengan nama panggung Daidosan—diambil dari nama sungai di Pyongyang.
Sayangnya, usahanya gagal dan grup itu bubar dalam waktu singkat.
Namun kegagalan itu justru membuka babak baru dalam hidupnya.
Pada 1961, Ko dan keluarganya menaiki kapal dari Niigata menuju Korea Utara, mengikuti program repatriasi besar-besaran yang disponsori Kim Il Sung dan Palang Merah Internasional.
Lebih dari 93.000 warga Korea di Jepang saat itu memutuskan “pulang” ke tanah air—meski banyak yang belum pernah menginjakkan kaki di sana sebelumnya.
Dari Osaka ke Pyongyang
Motif Ko pindah ke Korea Utara bukan hanya karena ekonomi.
Pemerintah Pyongyang saat itu berambisi membangun asosiasi judo nasional, dan Ko dipercaya menjadi salah satu pendirinya.
Dari seorang pegulat gagal, ia berubah menjadi “Bapak Judo Korea Utara.”
Putrinya, Ko Young Hee, tumbuh di lingkungan istimewa.
Cantik dan berbakat menari, ia bergabung dengan Mansudae Art Troupe, kelompok seni bergengsi Korea Utara, pada awal 1970-an.
Di situlah nasibnya berubah—ia menarik perhatian Kim Jong Il, putra Kim Il Sung. Kim Jong II merupakan ayah Kim Jong Un.
Bagi warga Korea yang “pulang” dari Jepang, diskriminasi adalah hal biasa.
Tapi Ko Young Hee menjadi pengecualian. Ia hidup bak Cinderella: dari gadis Osaka menjadi perempuan paling berpengaruh di istana Pyongyang.
Pada 1973, ia bahkan kembali ke Jepang sebagai penari utama Mansudae Art Troupe.




