Ketika itu, bagi orang Indonesia, abad ke-19 adalah masa kematian dan penindasan.
"Saya lahir pada tanggal 6 Juni. Keberuntungan besar saya lahir di bawah zodiak Gemini, si kembar. Saya memang dua sisi: bisa lembut, bisa keras; bisa tegas seperti baja, bisa puitis. Kepribadian saya campuran antara akal dan perasaan. Saya pemaaf tapi juga tegas. Saya menjebloskan musuh negara ke penjara, tapi saya tidak bisa menangkap burung dan menahannya di sangkar," demikian ujaran Sukarno.
Semasa kecil, kehidupan ayah dan ibu Sukarno sangat sederhana. Ini diilustrasikan dengan kondisi saat Bung Karno lahir, dimana untuk membayar bidan pun tak mampu.
"Lahir saya sendiri sangat sederhana. Ayah tak mampu membayar bidan. Kami sangat miskin. Satu-satunya yang menemani ibu adalah seorang kakek tua keluarga kami. Dialah yang mengantar saya menuju takdir,"
"Di Bogor, di gedung negara, ada prasasti marmer putih yang menggambarkan kelahiran Hercules, dikelilingi oleh 14 wanita cantik. Bayangkan betapa beruntungnya Hercules. Saya tidak seberuntung itu. Ketika saya lahir, tidak ada yang memeluk saya kecuali kakek tua itu," aku Sukarno.
Pertautan sejarah hidup dengan Bali - Jawa juga ia ceritakan. Di mana, Bung Karno menjelaskan soal ibu dan ayahnya.
"Saya anak ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibu saya, Idaju, keturunan bangsawan. Raja terakhir Singaradja adalah paman ibu saya. Ayah saya dari Jawa, bernama Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan. Ayah keturunan Sultan Kediri," cerita Bung Karno dalam buku tersebut.