MEGAPOLITIK.COM - Aktivis demokrasi sekaligus Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati, melayangkan somasi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada Senin (21/07/2025).
Langkah ini diambil setelah akun Instagram resmi @diskominfojabar mengunggah fotonya tanpa izin, yang diduga menyebabkan gelombang serangan digital terhadap dirinya.
Unggahan tersebut muncul sehari setelah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengunggah video klarifikasi terkait anggaran media dan tudingan penggunaan buzzer.
Dalam video itu, Dedi menyebut "mbak berkerudung" tanpa menyebut nama, namun warganet segera mengaitkannya dengan Neni.
Tak lama kemudian, akun resmi Pemprov Jabar memuat ulang video tersebut disertai foto wajah Neni, yang diduga menjadi pemicu perundungan, ujaran kebencian, hingga ancaman kekerasan berbasis gender online (KGBO) terhadap aktivis tersebut.
Serangan Digital Bertubi-tubi dan Ancaman Kekerasan
Neni menyebut bahwa serangan digital kali ini jauh lebih brutal dibanding sebelumnya.
Dalam periode 15–17 Juli, ia menerima ancaman penyiksaan, peretasan akun, hingga teror telepon dari nomor tidak dikenal.
"Ancaman ini menyasar tubuh saya, menyebut akan melakukan kekerasan jika bertemu. Ini sangat mengerikan dan belum pernah saya alami meski pernah mengkritik presiden sekalipun," ujar Neni.
Tak hanya ancaman, akun TikTok Neni juga tak bisa diakses. Padahal, platform itu selama ini menjadi kanal utama untuk menyuarakan edukasi politik, kritik kebijakan, dan partisipasi publik.
Wakca Balaka: Diskominfo Jabar Harusnya Lindungi Warga, Bukan Jadi Alat Represif
Forum advokasi keterbukaan informasi, Wakca Balaka, mengecam keras unggahan akun resmi Pemprov Jabar tersebut.
Mereka menilai tindakan tersebut memberi ruang bagi warganet yang pro terhadap Gubernur Dedi Mulyadi untuk menyerang individu secara personal.
Menurut Iqbal T. Lazuardi dari Wakca Balaka, tindakan itu bukan hanya tidak etis, tetapi juga mencederai kebebasan berekspresi.
“Pencatutan foto tanpa izin oleh lembaga pemerintah bisa menimbulkan efek jera bagi masyarakat yang kritis. Ini preseden buruk dalam demokrasi,” ujar Iqbal.
Tuntutan Hukum dan UU Perlindungan Data Pribadi
Kuasa hukum Neni, Ikhwan Fahrojih, menyebut bahwa unggahan tersebut masuk kategori doxing—yakni penyebaran data pribadi tanpa persetujuan.
Dalam somasi yang diajukan, Pemprov Jabar diminta meminta maaf secara terbuka dan menarik unggahan bermasalah dalam waktu 2x24 jam.
Jika tidak, pihak Neni akan menempuh jalur hukum sesuai UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
“Ini bukan hanya soal foto, tapi menyangkut harkat, martabat, dan hak konstitusional klien kami,” tegas Ikhwan.
Pakar Komunikasi Unpad: Kepala Daerah Wajib Terbuka terhadap Kritik
Pakar komunikasi publik dari Universitas Padjadjaran, FX Ari Agung Prastowo, menilai bahwa unggahan akun resmi pemerintah seharusnya menjadi ruang edukasi digital, bukan alat propaganda atau represif.
“Media sosial harus dimanfaatkan sebagai ruang dialog, bukan tempat menyerang warga yang kritis,” kata Ari.
Menurutnya, kepala daerah semestinya menyusun kebijakan berbasis riset dan aspirasi publik. Kritik masyarakat harusnya menjadi bahan evaluasi, bukan dianggap ancaman.
Gaya Komunikasi Dedi Mulyadi Dinilai Pro Kontra
Gubernur Dedi Mulyadi dikenal aktif bermedia sosial dan memiliki gaya komunikasi personal yang menonjol. Ia kerap memublikasikan kegiatan sosial hingga blusukan, dan tak jarang membuat video sendiri untuk menjawab isu publik.
Namun, penggunaan akun pribadi dan akun resmi pemerintah dalam isu sensitif seperti ini menimbulkan pertanyaan etik dan batas-batas komunikasi publik yang seharusnya profesional dan proporsional.
Source: BBC Indonesia