MEGAPOLITIK.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap praktik pemerasan dan gratifikasi yang diduga terjadi dalam proses perizinan tenaga kerja asing (TKA) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Dugaan korupsi yang dilakukan sejak 2019 itu disebut telah mengumpulkan dana hingga lebih dari Rp53 miliar.
Pelaksana Harian Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, menjelaskan bahwa praktik ini berkaitan dengan penerbitan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), yakni dokumen izin yang wajib dimiliki TKA sebelum bekerja di Indonesia.
“Setiap tenaga kerja asing yang akan masuk ke Indonesia harus mengajukan izin berupa RPTKA. Dalam prosesnya, para pelaku memanfaatkan celah administrasi untuk meminta uang kepada para agen atau pengurus TKA,” ujar Budi dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (5/6/2025).
Modus Pemerasan Lewat Celah Verifikasi Dokumen
Pemerasan bermula ketika agen TKA mengajukan permohonan izin secara daring. Jika dokumen tidak lengkap, seharusnya pihak kementerian memberi tahu pemohon untuk memperbaikinya dalam waktu lima hari. Namun, alih-alih melalui sistem resmi, informasi ini justru disampaikan secara personal lewat pesan WhatsApp oleh oknum di kementerian.
Dengan membayar sejumlah uang, para agen bisa memperoleh informasi dan percepatan proses. Sebaliknya, agen yang tidak menyetor uang akan kesulitan mendapatkan kabar lanjutan.
“Pada akhirnya, para agen terpaksa membayar karena jika izin terlambat keluar, TKA akan dikenai denda harian yang cukup besar. Biaya denda bisa lebih tinggi daripada uang pelicin yang diminta,” jelas Budi.
Pegawai hingga Pejabat Kebagian, Termasuk OB
KPK menyebut delapan pejabat dan pegawai di Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) sebagai tersangka. Mereka adalah SH, HYT, WP, DA, GW, PCW, JS, dan AE.
Jumlah uang yang diterima masing-masing bervariasi, dengan HYT mendapat bagian terbesar, sekitar Rp18 miliar.
Tak hanya pejabat, uang hasil pemerasan juga dibagi-bagikan ke sekitar 85 orang pegawai lain di Direktorat Pengendalian Penggunaan TKA dan Dirjen Binapenta. Bahkan office boy (OB) pun turut menerima aliran dana.
“Uang juga digunakan untuk keperluan makan staf dan dibagikan secara berkala dua mingguan. Total sekitar Rp8 miliar dibagi bersama. Ada juga OB dan staf-staf lain yang menerima, dan sudah mengembalikan sekitar Rp5 miliar ke KPK,” terang Budi.
Dana Digunakan untuk Beli Aset Pribadi
Selain digunakan untuk operasional tak resmi di lingkungan kementerian, dana tersebut juga diketahui mengalir ke rekening pribadi dan dibelanjakan untuk membeli aset atas nama pribadi maupun keluarga.
Penyidikan masih terus berlanjut, dan KPK berkomitmen menelusuri aliran dana serta memulihkan kerugian negara dalam kasus ini.
Profil dan Dugaan Dana Masuk ke Para Tersangka
1. Suhartono (SH): Dirjen Binapenta dan PKK tahun 2024–2025 diduga terima Rp 460 juta.
2. Haryanto (HY): Staf Ahli Menaker, sebelumnya Dirjen Binapenta dan PKK (2024) dan Direktur PPTKA (2019–2024) diduga terima Rp 18 miliar
3. Wisnu Pramono (WP): Direktur PPTKA (2017–2019) diduga terima Rp 580 juta
4. Devi Anggraeni (DA): Direktur PPTKA (2024–2025), sebelumnya Koordinator Pengesahan PPTKA (2020–2024) diduga terima Rp 2,3 miliar
5. Gatot Widiartono (GW): Koordinator Analisis PPTKA (2021–2025) diduga terima Rp 6,3 miliar.
6. Putri Citra Wahyoe (PCW): Petugas Saluran Siaga RPTKA dan verifikator pengesahan (2019–2025) diduga terima Rp 13,9 miliar.
7. Amal Shodiqin (JS): Analis Tata Usaha dan Pengantar Kerja Ahli Pertama (2019–2025) diduga terima Rp 1,1 miliar.
8. Alfa Eshad (AE): Pengantar Kerja Ahli Muda (2018–2025) diduga terima Rp 1,8 miliar. (tam)