MEGAPOLITIK.COM - Dua puluh tujuh tahun setelah tumbangnya Orde Baru, wajah politik Indonesia mengalami metamorfosis besar.
Jika dulu partai menjadi satu-satunya pintu kekuasaan, kini muncul kekuatan baru yang lahir dari luar sistem formal: relawan politik.
Fenomena ini dikupas mendalam dalam jurnal ilmiah berjudul “Relawan Politik dalam Sirkulasi Elite Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru” karya Cleorisa Cheguevara Riswan, Rahardian Putra Setia Budi, dan Kamaruddin Salim dari Universitas Nasional Jakarta.
Ketiganya menilai bahwa relawan kini bukan sekadar pendukung kandidat, tetapi sudah berkembang menjadi aktor strategis dalam proses sirkulasi elite — istilah yang dipinjam dari sosiolog Italia Vilfredo Pareto, untuk menggambarkan proses naik-turunnya kelompok penguasa.
Lahir dari Kekecewaan terhadap Partai Politik
Riset ini menyebut, relawan politik muncul sebagai respon atas krisis kepercayaan publik terhadap partai politik.
Banyak masyarakat menilai partai terlalu elitis, koruptif, dan jauh dari aspirasi rakyat.
“Relawan memosisikan diri sebagai kekuatan independen yang ingin mengembalikan makna partisipasi politik rakyat,” tulis para peneliti dalam jurnal yang dipublikasikan April 2024.
Berbeda dari struktur partai yang birokratis, relawan bergerak luwes dan horizontal.
Mereka membentuk jaringan sosial di dunia nyata dan media digital, menyatukan individu dari berbagai latar belakang — aktivis, seniman, LSM, hingga masyarakat sipil biasa.
Fenomena ini semakin menguat sejak pemilihan presiden 2014, ketika Joko Widodo didukung oleh ratusan komunitas relawan seperti Projo, Seknas Jokowi, dan Barisan Relawan Desa.
Menurut peneliti, sejak saat itu relawan menjadi simbol kebangkitan politik kelas menengah, yang menggunakan media sosial untuk mengimbangi kekuatan partai lama.
Dari Gerakan Sosial ke “Partai Bayangan”
Mengutip pemikiran akademisi Bambang Arianto (2014), para penulis menyebut relawan sebagai bentuk gerakan sosial baru.
Mereka bukan bagian dari sistem formal, tetapi memiliki daya tawar besar dalam menentukan arah politik.
Namun, riset ini juga menyoroti pergeseran peran relawan dari gerakan idealis menjadi kekuatan yang mirip partai.
“Dalam banyak kasus, relawan politik bertransformasi menjadi partai bayangan yang turut menentukan arah kebijakan dan distribusi kekuasaan,” tulis peneliti.
Setelah kandidat yang mereka dukung menang, sebagian relawan berubah fungsi: dari mesin kampanye menjadi kelompok penekan (pressure group) yang menuntut posisi strategis di pemerintahan.
Fenomena ini, kata peneliti, memperlihatkan bahwa relawan tak lagi sekadar gerakan moral, tapi juga instrumen politik kekuasaan.
Sirkulasi Elite dan Pertarungan Generasi
Melalui pendekatan teori Pareto, riset ini menjelaskan bahwa relawan memainkan peran penting dalam sirkulasi elite politik.
Di era Orde Baru, perputaran elite sangat tertutup — hanya kalangan militer, birokrat, dan partai tunggal yang berkuasa.
Namun, setelah Reformasi, ruang kompetisi menjadi terbuka dan elite baru muncul dari luar sistem, termasuk dari jaringan relawan.
Hermawan Sulistyo, salah satu pengamat yang dikutip dalam jurnal ini, menyebut fenomena relawan sebagai bentuk perlawanan generasi muda terhadap dominasi elite lama.
“Generasi digital native kini memimpin panggung politik, sementara baby boomers tetap memegang kendali kebijakan,” tulisnya.
Kontras antara dua generasi ini menciptakan dinamika baru: politik tak lagi dikendalikan dari atas (top-down), melainkan mengalir dari bawah (bottom-up) melalui jaringan sosial yang cair.
Dampak pada Demokrasi dan Etika Politik
Meski memperkuat partisipasi publik, kehadiran relawan politik juga menimbulkan dilema etis.
Dalam banyak kasus, relawan terjebak dalam pragmatisme — kehilangan idealisme dan menjadi alat kekuasaan. Setelah kemenangan politik tercapai, relawan sering terpecah karena perebutan posisi dan akses terhadap sumber daya negara.
“Relawan seharusnya menjadi kekuatan korektif, bukan hanya kendaraan elektoral,” tegas peneliti.
Jika tidak dilembagakan secara etis dan profesional, relawan justru dapat melemahkan fungsi partai politik, menciptakan oligarki baru yang tidak transparan namun berpengaruh besar di balik layar.
Menuju Relawan yang Modern dan Berintegritas
Jurnal ini menutup dengan rekomendasi tegas: relawan politik harus berevolusi menjadi institusi sipil modern yang berbasis nilai dan ideologi, bukan sekadar jejaring personal.
Beberapa langkah yang disarankan antara lain:
- Membangun struktur organisasi permanen dengan sistem akuntabilitas terbuka.
 - Menegaskan ideologi dan tujuan sosial-politik agar tidak terseret pragmatisme.
 - Memanfaatkan teknologi digital secara etis untuk memperkuat literasi politik warga.
 - Menjaga jarak profesional dengan kekuasaan demi menjaga independensi moral.
 
“Relawan ideal bukan yang sekadar memenangkan kandidat, tapi yang mampu menjadi penjaga moralitas publik dalam demokrasi,” tulis Cleorisa Cheguevara dkk.
Politik di Era Jaringan Sosial
Fenomena relawan politik menjadi cerminan bahwa demokrasi Indonesia sedang bereksperimen dengan bentuk-bentuk partisipasi baru.
Mereka mampu mengguncang dominasi partai, memperluas ruang politik rakyat, dan melahirkan elite baru dari luar sistem lama. Namun, tanpa transparansi dan etika, kekuatan itu bisa berubah menjadi politik bayangan yang justru merusak kepercayaan publik.
Sebagaimana ditulis para peneliti:
“Relawan harus kembali menjadi kekuatan moral masyarakat — bukan sekadar alat kekuasaan.”
(tam)
Sumber:
Riswan, C. C., Budi, R. P. S., & Salim, K. (2024). Relawan Politik dalam Sirkulasi Elite Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jurnal Ilmu Politik, Universitas Nasional Jakarta, Vol. 15 No. 1.


                            
                        

