MEGAPOLITIK.COM - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa hingga akhir September 2025, total dana Pemda yang belum terserap dan justru mengendap di rekening bank mencapai Rp 234 triliun.
Jumlah ini menjadi sorotan karena menunjukkan bahwa meskipun anggaran telah disalurkan dari pusat ke daerah, belanja daerah belum berjalan dengan kecepatan yang diharapkan.
Purbaya menegaskan bahwa “ini bukan soal uangnya tidak ada” melainkan soal “kecepatan eksekusi”.
Ia menambahkan bahwa dana yang mengendap tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, proyek produktif, dan mendukung UMKM lokal.
Hal ini menjadi perhatian serius karena berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah.
Daerah-daerah dengan Simpanan Terbesar
Dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi daerah, Purbaya memaparkan daftar wilayah dengan jumlah dana mengendap di bank tertinggi.
Beberapa di antaranya ialah:
Provinsi DKI Jakarta: sekitar Rp 14,68 triliun
Provinsi Jawa Timur: Rp 6,84 triliun
Kota Banjarbaru: Rp 5,17 triliun
Provinsi Kalimantan Utara: Rp 4,7 triliun
Provinsi Jawa Barat: Rp 4,17 triliun
Kabupaten Bojonegoro: Rp 3,6 triliun
Kabupaten Kutai Barat: Rp 3,2 triliun
Provinsi Sumatera Utara: Rp 3,1 triliun
Kabupaten Kepulauan Talaud: Rp 2,62 triliun
Kabupaten Mimika: Rp 2,49 triliun
Kabupaten Badung: Rp 2,27 triliun
Kabupaten Tanah Bumbu: Rp 2,11 triliun
Provinsi Bangka Belitung: Rp 2,10 triliun
Provinsi Jawa Tengah: Rp 1,99 triliun
Kabupaten Balangan: Rp 1,86 triliun
Penyebab Dana Mengendap
Menurut Purbaya, penyebab utama adalah lambatnya realisasi belanja APBD.
Hingga September 2025, realisasi belanja daerah tercatat sebesar Rp 712,8 triliun atau 51,3 % dari pagu sekitar Rp 1.389 triliun.
Sementara dana dari pusat yang sudah disalurkan ke daerah mencapai 74,2 % dari pagu.
Dengan belanja modal yang turun signifikan (contoh: hanya Rp 58,2 triliun dan turun > 31 %) maka efeknya adalah investasi dan kegiatan produktif di daerah melambat.
Hal ini berdampak bukan hanya pada tingkat pembangunan, tetapi juga pada perputaran ekonomi lokal dana yang “tidur” di bank tidak memutar untuk proyek, UMKM, ataupun infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat.
Tanggapan Pemerintah Daerah
Beberapa kepala daerah merespons berbeda.
Gubernur Dedi Mulyadi misalnya menegaskan bahwa di Provinsi Jawa Barat “tidak ada dana disimpan dalam bentuk deposito” dan siap menantang bukti data apabila ada.
Sedangkan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menyebut jumlah yang tercatat dalam data Purbaya “kurang tepat” karena saldo daerahnya disebut hanya Rp 990 miliar.
Sementara Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengakui data mengenai Rp 14,6 triliun yang tertahan itu benar adanya, dengan alasan pola pembayaran yang banyak terjadi di akhir tahun.
Solusi yang Ditawarkan
Menteri Purbaya tidak tinggal diam: Kementerian Keuangan telah menyiapkan empat arahan utama kepada daerah, yaitu:
1. Akselerasi belanja daerah — jangan biarkan dana tak tersentuh.
2. Percepatan pelunasan kewajiban pihak ketiga — agar beban ke depan tak menumpuk.
3. Penggunaan dana yang mengendap — harus dipakai untuk kegiatan produktif.
4. Pemantauan ketat pelaksanaan APBD tahun 2025 — sehingga dana direalisasikan tepat sasaran dan tepat waktu.
Lebih lanjut, sistem transfer dari pemerintah pusat ke daerah akan diperbaiki agar lebih awal di tahun berjalan, sehingga daerah tidak menunda penggunaan karena “cadangan” yang terlalu besar.
Kesimpulan
Kasus dana Pemda mengendap di bank sebesar ratusan triliun ini menegaskan bahwa tantangan utama bukanlah ketersediaan anggaran, melainkan kecepatan, efektivitas, dan fokus realisasi.
Dengan demikian, pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi agar dana yang tersedia benar-benar bekerja untuk rakyat membiayai pembangunan, memperkuat UMKM, dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. (daf)




