KIKA menekankan pentingnya memori sejarah yang akurat.
Pendidikan sejarah harus mencerminkan kebenaran dan mencegah glorifikasi pelaku pelanggaran HAM.
Negara diingatkan untuk mengakui dan menuntaskan pelanggaran masa lalu, sekaligus memberikan keadilan bagi para korban.
“Bangsa yang melupakan luka sejarahnya akan kehilangan arah moral. Menjadikan Soeharto pahlawan berarti memutihkan pelanggaran negara dan melecehkan ingatan para korban,” kata KIKA.
Organisasi ini juga mengajak civitas akademika, masyarakat sipil, dan generasi muda untuk mempertahankan semangat reformasi, menolak normalisasi kekuasaan otoriter, dan menegakkan nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.
“Kami berdiri bersama korban, keluarga korban, dan seluruh masyarakat yang memperjuangkan keadilan serta kebebasan akademik,” pungkas pihak KIKA.
Sebagai informasi, Kementerian Sosial mengusulkan sebanyak 40 nama tokoh untuk mendapat gelar pahlawan nasional, termasuk aktivis buruh perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah.
Terdapat pula nama Presiden ke-2 RI Soeharto dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid.
Proses pengusulan nama pahlawan nasional itu dijelaskan, berawal dari masyarakat melalui Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD).
Data 40 nama tokoh ini kemudian diserahkan ke Kementerian Kebudayaan untuk selanjutnya diproses dan dipilah, lalu akan diserahkan lagi ke Presiden Prabowo Subianto.




