MEGAPOLITIK.COM - Sebuah penelitian berbuah artikel ilmiah dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta mengungkap fenomena menarik di balik perubahan strategi komunikasi pemerintah Indonesia.
Dalam studi berjudul “The Fall of Public Relations Officer and the Rise of Influencer in the Indonesian Government”, dua akademisi, Dani Fadillah dan Arif Ardy Wibowo, menyoroti bagaimana peran humas pemerintah (public relations officer) mulai tergantikan oleh influencer dan buzzer di era digital.
Penelitian ini menggambarkan pergeseran besar dalam lanskap komunikasi publik, terutama ketika media sosial menjadi kanal utama penyebaran informasi politik dan kebijakan.
Pemerintah, yang selama ini mengandalkan humas sebagai jembatan komunikasi dengan masyarakat, kini lebih banyak memanfaatkan figur publik populer untuk membentuk opini.
“Peran humas pemerintah semakin kabur. Mereka tidak lagi menjadi garda depan dalam menjelaskan kebijakan, karena peran itu sudah diambil alih oleh influencer,” tulis Fadillah dan Wibowo dalam penelitiannya.
Kasus Omnibus Law: Awal Pergeseran Fungsi Humas
Fenomena ini terlihat jelas saat pemerintah memperkenalkan Omnibus Law Cipta Kerja pada 2020.
Gelombang kritik dari serikat buruh, mahasiswa, hingga aktivis lingkungan membanjiri ruang publik, baik di jalanan maupun di media sosial.
Menurut riset tersebut, data dari Drone Emprit menunjukkan lonjakan percakapan terkait Omnibus Law di Twitter meningkat drastis dari 2.000 menjadi 57.000 cuitan per hari menjelang pengesahan undang-undang tersebut.
Mayoritas isi percakapan bersifat negatif dan menolak kebijakan pemerintah.
Untuk menanggapi hal itu, pemerintah memilih langkah tak biasa: mengontrak influencer dan selebgram untuk menyebarkan narasi positif soal manfaat Omnibus Law.
Berdasarkan laporan BBC Indonesia (2020) yang dikutip dalam riset, pemerintah mengeluarkan anggaran hingga Rp90 miliar, dengan tarif sekitar Rp5 juta hingga Rp10 juta per unggahan bagi influencer yang terlibat.
Tagar-tagar seperti #OmnibusLawBerkah, #OmnibusLawTanpaHoax, dan #OmnibusLawUntukUMKM kemudian bermunculan sebagai bentuk kampanye digital pemerintah.
Hasilnya, opini publik di media sosial mulai bergeser dari penolakan keras menjadi diskusi yang lebih seimbang.
Namun, bagi para peneliti, keberhasilan ini menyimpan ironi.
Humas pemerintah yang seharusnya berfungsi sebagai komunikator resmi justru menghilang dari peran strategisnya, digantikan oleh pihak eksternal yang bekerja berdasarkan popularitas, bukan profesionalisme komunikasi publik.
Influencer Jadi “Alat Propaganda” Modern
Dalam penelitiannya, Fadillah dan Wibowo menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan Social Network Analysis (SNA) untuk memetakan interaksi di media sosial.
Hasilnya menunjukkan bahwa influencer memiliki kekuatan signifikan dalam mengarahkan opini publik, terutama saat pemerintah ingin membentuk persepsi positif terhadap kebijakan tertentu.
Namun, kedua peneliti menilai penggunaan influencer dalam konteks politik berpotensi mengaburkan etika komunikasi publik.
Jika humas bekerja berdasarkan prinsip transparansi dan tanggung jawab kepada masyarakat, influencer justru beroperasi dengan orientasi komersial dan efek instan.
“Influencer tidak memiliki tanggung jawab moral terhadap informasi yang mereka sebarkan. Ketika mereka dijadikan alat legitimasi kekuasaan, fungsi komunikasi publik berubah menjadi propaganda,” tulis keduanya.
Penelitian ini juga mengutip teori komunikasi politik generasi ketiga dari Ward & Cahill (2009), yang menandai era baru di mana media sosial menjadi medan utama pembentukan opini publik.
Dalam konteks ini, influencer tidak sekadar menjadi komunikator, tetapi juga aktor politik digital yang mampu memperkuat atau melemahkan narasi kekuasaan.
Etika, Transparansi, dan Masa Depan Humas Pemerintah
Hasil penelitian tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pemerintah masih membutuhkan humas profesional di era influencer?
Menurut Fadillah dan Wibowo, jawabannya ya, tetapi dengan catatan: humas pemerintah harus beradaptasi.
Mereka perlu memahami dinamika komunikasi digital, membangun kehadiran yang kuat di media sosial, dan mengedepankan transparansi.
Tanpa itu, fungsi humas akan terus terpinggirkan oleh algoritma dan popularitas.
Selain itu, penggunaan influencer dalam isu politik menuntut kejelasan etika. Pemerintah seharusnya tidak menjadikan figur publik sebagai alat propaganda, melainkan sebagai mitra edukasi publik yang berperan menyebarkan informasi faktual, bukan manipulatif.
“Jika pemerintah ingin menjaga kepercayaan publik, maka komunikasi harus berbasis transparansi, bukan transaksi,” tegas penelitian itu.
Poinnya: Saatnya Humas Bangkit di Era Digital
Fenomena “jatuhnya” humas pemerintah dan “bangkitnya” influencer menunjukkan transformasi besar dalam strategi komunikasi politik Indonesia.
Meskipun influencer terbukti efektif dalam menjangkau masyarakat luas, mereka tidak dapat menggantikan peran strategis humas sebagai penyampai informasi publik yang kredibel dan bertanggung jawab.
Penelitian ini menjadi peringatan bagi institusi pemerintah agar tidak terjebak pada komunikasi semu yang hanya mengejar popularitas jangka pendek. Karena pada akhirnya, kepercayaan publik tidak dibangun oleh jumlah pengikut, tetapi oleh kejujuran, profesionalisme, dan konsistensi komunikasi. (tam)
Source: Artikel ilmiah "The Fall of Public Relations Officer and the Rise of Influencer in the Indonesian Government"


                            
                        

