MEGAPOLITIK.COM - Ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 5,12% pada kuartal II 2025, angka tertinggi sejak Q2 2023 dan melampaui ekspektasi para analis, yang sebelumnya memproyeksikan kisaran 4,87 %.
Secara kuartalan (q‑to‑q), ekonomi Indonesia juga menghijau dengan kenaikan 4,04%, menandai rebound kuat dari kontraksi triwulan sebelumnya.
Pencapaian ini menjadi sinyal positif bahwa pemulihan ekonomi Indonesia mulai menguat di tengah tantangan global yang masih berlangsung.
Menurut pernyataan resmi dari BPS dan Kementerian Keuangan, pertumbuhan ini didorong oleh sejumlah faktor utama:
1. Konsumsi Rumah Tangga Solid
Belanja konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97 % yoy, didukung oleh mobilitas masyarakat yang meningkat saat libur panjang dan cuti bersama.
Transaksi daring (online) juga mulai menunjukkan kontribusi signifikan, seiring perubahan pola konsumsi warga.
2. Lonjakan Investasi Infrastruktural
Komponen investasi mencatat pertumbuhan impresif sebesar 6,99 % yoy level tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Lonjakan ini didorong oleh belanja modal pemerintah, salah satunya di proyek infrastruktur seperti pengembangan MRT Jakarta, serta aktivitas swasta yang kembali aktif.
3. Ekspor yang Dipercepat (Front‑loading)
Ekspor barang dan jasa tumbuh 10,67 % yoy, terutama karena akselerasi pengiriman (frontloading) menjelang potensi tarif tambahan dari Amerika Serikat.
Komoditas unggulan seperti minyak dan lemak nabati, besi dan baja, serta elektronik menjadi andalan.
4. Aktivitas sektor jasa meningkat signifikan
Pada sisi produksi, sektor "jasa lainnya" mencatat pertumbuhan paling tinggi, yakni 11,31 %, disusul oleh jasa perusahaan (9,31 %), transportasi & pergudangan (8,52 %), serta akomodasi dan makanan–minuman (8,04 %).
Peningkatan kunjungan wisatawan nusantara maupun mancanegara turut mendukung kinerja sektor ini dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dari Para Ahli
Terlepas dari capaian angka pertumbuhan ekonomi Indonesia, sejumlah ekonom independen dan pemangku kepentingan mengemukakan keprihatinan atas validitas data.
Indikator bisnis nyata seperti penurunan penjualan mobil, menurunnya investasi asing, kekuatan manufaktur yang merosot, serta laporan pemutusan hubungan kerja menyiratkan kondisi ekonomi Indonesia yang lebih lemah daripada yang dilaporkan secara agregat.
Beberapa pihak bahkan menyebut perlu adanya klarifikasi lebih lanjut terkait ekonomi Indonesia bahkan ada yang menyoroti potensi tekanan politik di tengah target pertumbuhan pemerintah yang ambisius. (daf)