MEGAPOLITIK.COM - Masa kecil sang proklamator Republik Indonesia, Sukarno, turut diceritakan dalam buku Sukarno: An Autobiography (as told to Cindy Adams).
Pada bab berjudul "Modjokerto The Pains of Youth" di buku itu, Sukarno menceritakan kisah masa kecilnya yang hidup susah.
Ia pun akui lahir dan tumbuh dalam kemiskinan.
"Saya tidak punya sepatu, tidak pernah mandi pakai air ledeng, dan tidak tahu cara memakai garpu atau sendok. Kemiskinan yang parah ini sering membuat hati kecil saya merasa sangat sedih," aku Sukarno dalam buku autobiografi itu.
Kemiskinan itu juga ia deskripsikan melalui kisah bertahan hidup dalam keluarga.
Ketika kecil, Sukarno tinggal berempat, yakni dirinya, ayah dan ibunya, serta kakak perempuannya yang usianya terpaut dua tahun lebih tua, Sukarmini.
Hidup berempat dalam satu keluarga, untuk biaya hidup, hanya mengandalkan gaji sang ayah. Jumlahya pun tak besar kala itu, Hanya sekitar 25 rupiah per bulan. Uang itu pun harus dipangkas lagi untuk biaya sewa rumah.
"Gaji ayah sebagai pegawai negeri waktu itu hanya sekitar 25 rupiah per bulan. Setelah dipotong uang sewa rumah kami di Jalan Pahlawan 88, sisa uangnya hanya 15 rupiah. Bisa dibayangkan betapa sederhananya hidup kami," cerita Sukarno.
Kesulitan itu, membuatnya hampir tak pernah melewatkan hari-hari besar dengan kejutan hadiah atau pun makanan enak. Bahkan, pada saat Lebaran pun demikian.
"Pada malam takbiran, anak-anak biasanya menyalakan petasan. Semua anak melakukan itu, kecuali saya. Saya hanya bisa berbaring di kamar kecil, menatap langit dari lubang-lubang kecil di dinding bambu, mendengar suara petasan dan tawa riang anak-anak lain,". 4
"Hati saya hancur. Saya menangis di tempat tidur dan berkata pada ibu, "Setiap tahun aku berharap bisa punya petasan, tapi tidak pernah bisa," demikian dituliskan dalam buku Cindy Adams.
Meski demikian, kehidupan yang sulit di masa kecil, tak membuatnya patah arang. Justru, hal itu yang malah membuat Sukarno dekat dengan keluarganya. Khususnya sang ibu.
Bagi Sukarno, ibu adalah sosok yang sangat ia hormati dan kagumi.
"Ibu adalah segalanya bagi saya," aku Sukarno.
Hal lain yang turut diceritakan pada bab "Modjokerto The Pains of Youth" adalah soal nama lahir sang Proklamator.
Sukarno, bukanlah nama lahirnya. Ada satu peristiwa di masa kecil yang membuat ortu Sukarno mengganti nama lahir anaknya itu.
"Nama saya saat lahir adalah Kusno. Tapi saya sering sakit—malaria, disentri, dan penyakit lain. Ayah percaya nama saya kurang baik, jadi ia mengganti nama saya. Ia sangat suka cerita Mahabharata, dan memutuskan memberi saya nama “Karna”, salah satu tokoh besar dalam kisah itu," jelas Sukarno sebagaimana dikutip dari buku tersebut.
Nama Karna dan Karno sebenarnya sama. Dalam bahasa Jawa, bunyi huruf “A” sering berubah menjadi “O.”
Awalan “Su” pada banyak nama kami berarti baik atau terbaik. Maka, nama Sukarno berarti pahlawan terbaik. (tam)