MEGAPOLITIK.COM - Fenomena mantan terpidana korupsi kembali terjun ke dunia politik memicu perdebatan publik di Indonesia.
Setelah menyelesaikan masa hukumannya, sejumlah tokoh yang pernah terjerat kasus korupsi berupaya merebut ruang dalam partai maupun kontestasi pemilu.
Kehadiran para eks terpidana korupsi ini memunculkan perdebatan mengenai batas antara hak politik dengan tuntutan integritas publik.
Kondisi ini memperlihatkan dilema besar dalam sistem demokrasi yang masih diuji konsistensinya.
Berikut adalah daftar mantan terpidana korupsi yang kembali ke politik:
Romahurmuziy: kembali ke PPP dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai
Muhammad Romahurmuziy (Romy) adalah figur yang pernah divonis dalam kasus suap jual-beli jabatan di Kementerian Agama.
Setelah bebas, Romy mendapat amanah sebagai Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP periode 2023–2025.
PPP dalam penjelasannya menyebut bahwa hak politiknya tidak dicabut dan bahwa hukuman tahunannya di bawah rata-rata sehingga secara hukum masih dimungkinkan untuk berkiprah dalam struktur partai.
KPK pun menyatakan menghormati hak Romy beraktivitas politik selama tidak ada batasan dari putusan pengadilan.
M. Nazaruddin: Ketua Umum Partai Rakyat Indonesia (PRI)
M. Nazaruddin dikenal dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games dan pencucian uang.
Ia dijatuhi hukuman 13 tahun, namun remisi serta pengurangan masa hukuman membuatnya bebas lebih cepat.
Setelah keluar, Nazaruddin melakukan manuver politik dengan
Pada 2025, Muhammad Nazaruddin secara resmi mendeklarasikan berdirinya Partai Rakyat Indonesia (PRI), dan mengemban jabatan sebagai Ketua Umum partai tersebut sejak saat itu.
PRI mengusung jiwa nasional-religius, dengan dasar Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Irman Gusman: Anggota DPD RI
Irman Gusman, mantan Ketua DPD RI, kembali aktif di panggung politik meskipun sebelumnya pernah terjerat kasus korupsi.
Pada 17 September 2016, ia ditangkap KPK terkait kasus suap pengurusan kuota impor gula, dan pada Februari 2017 divonis 4,5 tahun penjara serta pencabutan hak politik selama 3 tahun.
Saat Pemilu 2024, namanya awalnya dicoret dari Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD karena dianggap belum melewati masa jeda lima tahun setelah hukuman pidana.
Namun setelah menggugat ke Mahkamah Konstitusi, diputuskan KPU wajib menyelenggarakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Sumatera Barat dan memasukkannya kembali ke dalam daftar calon.
Irman Gusman resmi menjadi anggota DPD RI periode 2024–2029 dari daerah pemilihan Sumatera Barat.
Idrus Marham: Wakil Ketua Umum Golkar
Idrus Marham pernah menjabat Menteri Sosial pada 2018 sebelum terjerat kasus korupsi, lalu dihukum dan akhirnya bebas pada September 2020.
Dalam kasus yang menjeratnya, Idrus dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun oleh Mahkamah Agung pada 2019 karena terbukti menerima gratifikasi bersama dengan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih.
Setelah bebas dari hukuman dalam kasus korupsi proyek pembangunan PLTU Riau-1, Idrus resmi masuk ke dalam struktur DPP Partai Golkar.
Dalam DPP Partai Golkar periode 2024–2029 Idrus Marham menjabat sebagai Wakil Ketua Umum bidang Fungsi Kebijakan Publik 2.
Andi Mallarangeng: Sekretasris Majelis Tinggi Partai Demokrat
Andi Mallarangeng adalah salah satu tersangka kasus Hambalang bersama Anas. Ia divonis 4 tahun penjara pada Juli 2014.
Setelah bebas, Andi kembali aktif dalam Partai Demokrat, menduduki posisi sebagai Sekretaris Majelis Tinggi Partai.
Perannya dalam konflik internal Demokrat seperti dalam menghadapi kubu rival sering disorot sebagai bagian dari strategi mempertahankan pengaruhnya.
Anas Urbaningrum: Ketua Umum Partai Kebangkita Nusantara (PKN)
Setelah resmi bebas murni pada 10 Juli 2023, Anas Urbaningrum menyatakan niatnya kembali ke dunia politik.
Dalam waktu singkat, ia terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) untuk periode 2023-2028 pada 14 Juli 2023.
Ia menggantikan I Gede Pasek Suardika sebagai ketua umum, sedangkan Gede Pasek dialihkan menjadi Ketua Majelis Agung PKN.
Anas Urbanungrum dinyatakan bersalah atas kasus korupsi proyek Hambalang.
Hukum dan Regulasi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak sepenuhnya melarang mantan terpidana korupsi untuk kembali ke dunia politik.
Pasal 240 ayat (1) huruf g menyebutkan bahwa calon legislatif yang pernah dipidana boleh mencalonkan diri asalkan secara terbuka dan jujur mengumumkan statusnya kepada publik.
UU ini juga tidak otomatis mencabut hak politik mantan terpidana korupsi ini, kecuali ada putusan pengadilan yang menyatakannya.
Aturan turunan melalui PKPU Nomor 10 Tahun 2023 menegaskan bahwa mantan napi korupsi dapat mencalonkan diri setelah lima tahun bebas dan wajib mengumumkan statusnya di media massa.
Meski legal, ketentuan ini menuai kritik karena dianggap terlalu longgar dan dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap dunia politik.
Perdebatan tersebut menunjukkan dilema antara memberi kesempatan kedua untuk mantan terpidana korupsi dan menjaga integritas pejabat publik di Indonesia. (daf)